"Jerry kenapa?" satu pesan singkat dari Rama, teman Jerry, masuk ke dalam ponsel saat aku baru akan duduk di kursi kantin selepas perkuliahan, siang ini.
Jantungku berdegub kencang. Bukan, bukan karena Rama yang mengirimiku pesan, namun isinya. Segala hal yang berkaitan dengan Jerry selalu membuat jantungku tak karuan.
"Emang kenapa?" Balasku singkat dengan penuh kebingungan. Ya, aku dan Jerry sudah lama tidak saling berhubungan. Empat bulan. Atau lebih. Atau kurang. Ntahlah. Perpisahan kami memang benar-benar menjadi perpisahan, tidak ada komunikasi yang tersisa. Meskipun, aku masih banyak menyimpan rasa.
Kulempar pandang kesekelilingku, tidak terlalu jauh di depanku, ternyata Rama duduk di sana, ia tersenyum namun dahinya berkerut. Ia menoleh, seolah menggiring pandangku ke belakangnya.
Itu, dia.
Sosok yang sedang berdiri memunggungiku adalah Jerry. Ia bersender ke tembok dan tangannya meraba lemas. Satu..dua..yak! Badannya merosot ke lantai. Dengan cepat dan sigap aku berlari dan menangkapnya sebelum kepalanya membentur kursi.
Kuangkat kepalanya yang tertunduk lemas.
Darah.
Hidungnya mengalirkan darah segar hingga ke mulut
Bibirnya penuh dengan luka lebam yang bentuknya tak karuan.
Kaus putihnya kotor terkena tetesan darah tersebut.
Aku menangis sejadi-jadinya.
Kondisinya semenyedihkan itu.
Tak perlu kutunggu bantuan (dan seingatku memang tidak ada yang datang membantu), aku memapahnya hingga ke Poliklinik kampus, sendirian. Jangan tanyakan darimana kekuatan itu berasal.
Sesampainya di sana dokter menyambutku dengan wajah panik yang diaturnya. Ia meminta dan membantuku merebahkan Jerry di atas tempat tidur yang tersedia. Kemudian menyuruhku meninggalkan mereka di sana.
Aku pun keluar, menutup tirai yang membatasi aku dan dia.
Semoga semua baik-baik saja..doaku dalam hati.
Ntah sudah berapa lama aku menunggu dan tidak ada panggilan. Kuputuskan untuk mengintipnya. Kusibakan sedikit tirai pembatas secara perlahan.
Sebuah tawa lepas kulihat muncul di sana. Ntah sejak kapan, tempat itu sudah ramai banyak orang, yang baru kusadari bahwa itu teman-teman Jerry. Mereka mengobrol, bercanda dan tertawa.
Jarum infus menancap di salah satu lengannya, wajahnya sudah bersih. Tidak ada lagi darah yang mengalir dari hidungnya, bahkan bekas luka pada bibirnya pun tidak ada.
Kumenikmati tawanya, hingga Jerry menyadari kehadiranku. Dengan canggung kusimpulkan senyum dengan linang air mata kelegaan.
Ia hanya melirik dan kembali melanjutkan obrolan dengan teman-temannya.
Tak ada sapa, ataupun senyum yang tersimpul di wajahnya.
Kututup tirai dan berbalik badan.
Melangkah jauh secara perlahan.
Tak ada cegahnya kudengar.
Tak kuasa, tangisku pecah juga.
Berlari dan keluar.
Debum pintu berbunyi keras.
Aku terbangun.
kerenn
BalasHapus